Bung Karno Berkata (1)

"Beri aku 10 Pemuda, maka akan kuguncangkan Dunia"

My Favorite Football Club

CHELSEA FOOTBALL CLUB

WELLCOME TO MY BLOG

My name is DWI YOGA YULIANTO. My nickname 'YOGA'. I was born in the city of Banyumas until now since 1997. I say "Assalamu'alaikum Wr. Wb." Stalker.

Selasa, 20 Juni 2017

Mengenang Wafatnya Sang Proklamator/Sang Founding Fathernya Indonesia (Bung Karno)




21 Juni 1970 Indonesia bahkan Dunia yang Membisu
 Air mata rakyat Marhaen tumpah di jalan-jalan, di pematang sawah, di terminal bus, atau di dalam kamar. Rakyat Marhaen, yang oleh Bung Karno diartikan sebagai rakyat Indonesia yang sederhana, lugu, dan bersahaja, memang tidak akan pernah melupakan tanggal itu. Karena pada saat itulah, Ir. Soekarno, pemimpin yang mereka cintai setulus hati, berpulang ke rumah Tuhan Yang Maha Esa. Setelah mengabdi bagi negeri dan bangsanya, akhirnya Soekarno harus menghembuskan napas terakhirnya.
Jikalau pers dan media waktu itu sudah menggunakan alat-alat canggih seperti sekarang, maka peristiwa tersebut akan didokumentasikan sebagai peristiwa perkabungan paling syahdu dari rakyat Indonesia kepada pemimpin yang ketulusan dan perjuangannya tidak terbantahkan oleh apapun. Tetapi jangankan didokumentasikan, peristiwa itu bahkan sengaja ditutup-tutupi, baik oleh moncong senapan para tentara angkatan darat, media-media yang dikuasai oleh para mahasiswa angkatan 66, ataupun oleh agen-agen kapitalis Amerika dan Inggris. Walau pemberitaannya tidak heboh (seakan peristiwa kematian Soekarno bukan sebuah hidangan spesial bagi para awak media) tetapi fakta membuktikan, kabar sendu itu menyebar dari mulut dan telinga rakyat Marhaen, rakyatnya Bung Karno.Sepanjang jalan dari Bandar Udara Abdulrahman Saleh, Malang hingga Blitar, tak henti-hentinya rakyat menangis, meraung atau sekadar terpaku lemas. Memang masih banyak yang belum bisa menerima seorang Soekarno, yang sempat membuat Belanda, Amerika, Inggris dan Malaysia ketakutan seperti anak kecil, harus meninggalkan mereka selama-lamanya. Tanpa komando siapapun, rakyat yang merasa masih memiliki hutang budi yang tidak akan bisa terbayar kepada sang pemimpinnya itu, lantas berkumpul dan melayat ke Blitar, kota yang dipilih oleh rezim orde baru sebagai peristirahatan terakhir Bung Karno. Walau dalam wasiatnya, Bung Karno meminta dikuburkan di Bogor.
Hoegeng Santosa, Kepala Kepolisian Republik Indonesia saat itu, bahkan hanya berucap satu kalimat sederhana, “There goes a very great man”. Bapak Kapolri yang juga sering disebut sebagai salah satu polisi paling jujur itu hanya terpaku. Ia mengatakan bahwa rombongan rakyat yang melayat Bung Karno di Blitar panjangnya mencapai sebelas kilometer. Sungguh bukti bahwa yang dikuburkan saat itu bukanlah orang biasa, walaupun prosesi penguburannya sungguh kelewat biasa bagi seorang Proklamator.
  Hadir dalam pemakaman yang biasa dan jauh dari gegap gempita awak media tersebut, para jenderal loyalis Bung Karno, yang memilih dipecat, dipenjara atau mengundurkan diri, daripada harus menjadi anak buah Soeharto. Mantan Ajudan Bung Karno, Bambang Wijanarko menuturkan, bahwa pada saat itu, lautan manusia yang hadir seperti tidak ada habis-habisnya. Bahkan ada yang jauh-jauh dari Bali untuk melayat ke tempat peristirahatan terakhir pemimpinnya.
 Disamakan dengan hewan.
 Begitu Bung Karno dinyatakan meninggal dunia tepatnya pada pukul 07.00 pagi WIB (seperti yang diumumkan secara resmi oleh tim dokter yang melayani Bung Karno), sontak kegamangan muncul. Walau secara luar biasa Soeharto menahan agar kabar ini tidak menjadi headline, tetapi toh rakyat tetap mendengarnya.
Sudah sejak lama rakyat Indonesia mengetahui rivalitas dari dua orang besar ini, Soekarno yang karismatik dan Soeharto yang ambisius. Begitu mendapatkan kekuasaan pasca tragedi kemanusiaan 1965 (atau yang bahasa Soeharto disebut peristiwa G30S/PKI), kekuatan Bung Karno dikebiri. Pertama adalah dengan cara menghancurkan PKI (Partai Komunis Indonesia) yang pada saat itu masih mengakui kepemimpinan Bung Karno. Setelah berhasil menghancurkan PKI dengan cara membunuh jutaan manusia yang dianggap komunis, Soeharto menangkap dan memenjarakan para menteri serta anggota legislatif loyalis Presiden Soekarno, terutama dari PNI (Partai Nasional Indonesia). Setelah kekuatan Bung Karno dipreteli dan kebetulan kesehatan Bung Karno juga memburuk, maka Soeharto, yang secara congkak dan kurang ajar menganggap dirinya Presiden Indonesia, mulai membatasi ruang gerak Bung Karno. Puncaknya, secara kelewatan dan tanpa mempedulikan etika sebagai seorang prajurit, Soeharto mengultimatum Bung Karno agar pergi dari Istana Negara. Memang sungguh kelewatan manusia bernama Soeharto tersebut.
Soekarno, dengan karisma yang masih melingkupinya, meminta keluarganya untuk segera berkemas. Geram, beberapa pelayan Soekarno bertanya kenapa dia tidak melawan. Soekarno hanya memberi penjelasan singkat, bahwa ia tidak ingin terjadi pertumpahan darah, walau sebenarnya Soeharto dan tentaranya sudah memulainya di luar sana. Semua pun terharu, bahkan ada seorang pelayan yang dengan berani melarang Bung Karno pergi sebelum makan. Karena tidak ada uang belanja, para pelayan pun berencana patungan untuk menyiapkan hidangan. Hal itu ditolak Bung Karno. Ia memilih makan sayur lodeh sisa tiga hari yang lalu untuk menjadi makanan terakhirnya. Bayangkan, apakah ada presiden di dunia ini selain Bung Karno, yang begitu tegar, walau dinista sedemikian hebat? Bung Karno pun pindah ke Istana Batu Tulis di Bogor. Di sana, kesehatan beliau semakin memburuk. Karena tidak memiliki uang yang cukup (!), keluarga Bung Karno meminta bantuan pemerintah. Pemerintah Soeharto pun menunjukkan kemurahan dan rasa hormatnya kepada Bung Karno, yakni dengan mengirim seorang dokter hewan. Andaikan saat itu rakyat Marhaen mengetahui hal ini, mungkin istana tempat tinggal Soeharto dan keluarganya akan dibakar dan diratakan dengan tanah.
Bung Karno kemudian dipindahkan kembali ke Jakarta, yakni ke Wisma Yaso. Menurut kesaksian Rahmawati (salah seorang putri Bung Karno), wajah dan tubuh Bung Karno bengkak, karena tidak diizinkan cuci darah. Dokter Mahar Murdjiono sering sedih dan bingung karena obat-obatan sering tidak tersedia. Di kamar di mana Bung Karno dirawat, selain bau, kumal dan sangat sederhana, hanya ada beberapa cangkir, termos tua dan tembok-tembok lusuh, yang memisahkan Bung Karno dengan rakyatnya, rakyat Marhaen yang setia.
  Muhammad Hatta, mantan Wakil Presiden dan sahabat paling dekat Bung Karno bahkan sempat menulis surat protes begitu mengetahui nasib sahabatnya, yang juga pemimpin besar bangsa Indonesia. Tetapi entah karena berkepala batu atau memang itulah yang diinginkan, Soeharto membisu sambil terus menyibukkan diri dalam operasi militer membasmi para pendukung Soekarno yang tersisa.
Oe Hong Kian, dokter gigi yang merawat Bung Karno sempat heran, bagaimana bisa seorang yang dizalimi begitu hebatnya bisa tetap tampil sederhana dan ringan seakan tak ada ganjalan. Itulah hebatnya Bung Karno, itulah lebihnya Bung Karno. Sedari muda, ia sudah ‘menikmati’ apa itu penjara, baik ketika jaman Belanda ataupun Inggris.Ada lagi satu kisah yang mencerminkan kebijaksanaan Bung Karno. Suatu saat ia kepingin buah duku, tetapi tidak punya uang. Ajudannya, seorang gadis asal Bali, sempat khawatir. Tetapi begitu menengok dompetnya, ia merasa cukup untuk membeli buah itu barang sekilo. Mobil pun meluncur, lalu berhenti di depan seorang penjual duku. Tetapi begitu tahu, bahwa sang pembeli adalah Bung Karno, sang penjual duku lari. Tidak berapa lama kemudian muncul para penjual buah-buah lainnya sambil memberikan buah-buahannya dan menjerit-jerit “itu Pak Karno, itu Pak Karno, hidup Pak Karno!”. Itulah bukti bahwa masih begitu besar kecintaan rakyat pada Bung Karno. Tapi karena Bung Karno takut mereka akan mendapat masalah dari tentara-tentara kaki tangan Soeharto, mobil pun meluncur pergi dan Bung Karno hanya mampu melambaikan tangannya sebagai salam terakhir.
 21 Juni yang sendu.
 Begitu besar penderitaan Bung Karno. Bahkan keluarga Bung Karno harus melewati penjagaan berlapis agar bisa bertemu sang ayah tercinta. Mengapa? Karena Bung Karno seorang TAHANAN. Itulah alasan yang sampai saat ini diingat oleh Rahmawati. Bahkan ketika malaikat Tuhan menjemput beliau untuk memasuki alam yang abadi, proses protokoler ribet itu masih dilakukan. Puncaknya, pada 21 Juni 1970, Bung Karno meninggalkan rakyatnya.   
Sepenggal kata-kata Bung
"Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian, bahwa kekuasaan seorang presiden sekalipun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanyalah kekuasaan rakyat. Dan di atas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.” (Soekarno, 1967)