21 Juni 1970 Indonesia bahkan Dunia yang
Membisu
Air mata rakyat Marhaen tumpah di
jalan-jalan, di pematang sawah, di terminal bus, atau di dalam kamar. Rakyat
Marhaen, yang oleh Bung Karno diartikan sebagai rakyat Indonesia yang
sederhana, lugu, dan bersahaja, memang tidak akan pernah melupakan tanggal itu.
Karena pada saat itulah, Ir. Soekarno, pemimpin yang mereka cintai setulus
hati, berpulang ke rumah Tuhan Yang Maha Esa. Setelah mengabdi bagi negeri dan
bangsanya, akhirnya Soekarno harus menghembuskan napas terakhirnya.
Jikalau pers dan media waktu itu sudah menggunakan alat-alat canggih seperti sekarang, maka peristiwa tersebut akan
didokumentasikan sebagai peristiwa perkabungan paling syahdu dari rakyat
Indonesia kepada pemimpin yang ketulusan dan perjuangannya tidak terbantahkan
oleh apapun. Tetapi jangankan didokumentasikan, peristiwa itu bahkan sengaja
ditutup-tutupi, baik oleh moncong senapan para tentara angkatan darat,
media-media yang dikuasai oleh para mahasiswa angkatan 66, ataupun oleh
agen-agen kapitalis Amerika dan Inggris. Walau pemberitaannya tidak heboh
(seakan peristiwa kematian Soekarno bukan sebuah hidangan spesial bagi para
awak media) tetapi fakta membuktikan, kabar sendu itu menyebar dari mulut dan
telinga rakyat Marhaen, rakyatnya Bung Karno.Sepanjang jalan dari Bandar Udara
Abdulrahman Saleh, Malang hingga Blitar, tak henti-hentinya rakyat menangis,
meraung atau sekadar terpaku lemas. Memang masih banyak yang belum bisa
menerima seorang Soekarno, yang sempat membuat Belanda, Amerika, Inggris dan
Malaysia ketakutan seperti anak kecil, harus meninggalkan mereka
selama-lamanya. Tanpa komando siapapun, rakyat yang merasa masih memiliki hutang
budi yang tidak akan bisa terbayar kepada sang pemimpinnya itu, lantas
berkumpul dan melayat ke Blitar, kota yang dipilih oleh rezim orde baru sebagai
peristirahatan terakhir Bung Karno. Walau dalam wasiatnya, Bung Karno meminta
dikuburkan di Bogor.
Hoegeng Santosa, Kepala Kepolisian
Republik Indonesia saat itu, bahkan hanya berucap satu kalimat sederhana,
“There goes a very great man”. Bapak Kapolri yang juga sering disebut sebagai
salah satu polisi paling jujur itu hanya terpaku. Ia mengatakan bahwa rombongan
rakyat yang melayat Bung Karno di Blitar panjangnya mencapai sebelas kilometer.
Sungguh bukti bahwa yang dikuburkan saat itu bukanlah orang biasa, walaupun
prosesi penguburannya sungguh kelewat biasa bagi seorang Proklamator.
Hadir dalam pemakaman yang biasa
dan jauh dari gegap gempita awak media tersebut, para jenderal loyalis Bung
Karno, yang memilih dipecat, dipenjara atau mengundurkan diri, daripada harus
menjadi anak buah Soeharto. Mantan Ajudan Bung Karno, Bambang Wijanarko
menuturkan, bahwa pada saat itu, lautan manusia yang hadir seperti tidak ada
habis-habisnya. Bahkan ada yang jauh-jauh dari Bali untuk melayat ke tempat
peristirahatan terakhir pemimpinnya.
Disamakan dengan hewan.
Begitu Bung Karno dinyatakan meninggal
dunia tepatnya pada pukul 07.00 pagi WIB (seperti yang diumumkan secara resmi
oleh tim dokter yang melayani Bung Karno), sontak kegamangan muncul. Walau
secara luar biasa Soeharto menahan agar kabar ini tidak menjadi headline,
tetapi toh rakyat tetap mendengarnya.
Sudah sejak lama rakyat Indonesia
mengetahui rivalitas dari dua orang besar ini, Soekarno yang karismatik dan
Soeharto yang ambisius. Begitu mendapatkan kekuasaan pasca tragedi kemanusiaan
1965 (atau yang bahasa Soeharto disebut peristiwa G30S/PKI), kekuatan Bung Karno
dikebiri. Pertama adalah dengan cara menghancurkan PKI (Partai Komunis
Indonesia) yang pada saat itu masih mengakui kepemimpinan Bung Karno. Setelah
berhasil menghancurkan PKI dengan cara membunuh jutaan manusia yang dianggap
komunis, Soeharto menangkap dan memenjarakan para menteri serta anggota
legislatif loyalis Presiden Soekarno, terutama dari PNI (Partai Nasional
Indonesia). Setelah kekuatan Bung Karno dipreteli dan kebetulan kesehatan Bung
Karno juga memburuk, maka Soeharto, yang secara congkak dan kurang ajar
menganggap dirinya Presiden Indonesia, mulai membatasi ruang gerak Bung Karno.
Puncaknya, secara kelewatan dan tanpa mempedulikan etika sebagai seorang
prajurit, Soeharto mengultimatum Bung Karno agar pergi dari Istana Negara.
Memang sungguh kelewatan manusia bernama Soeharto tersebut.
Soekarno, dengan karisma yang masih
melingkupinya, meminta keluarganya untuk segera berkemas. Geram, beberapa
pelayan Soekarno bertanya kenapa dia tidak melawan. Soekarno hanya memberi
penjelasan singkat, bahwa ia tidak ingin terjadi pertumpahan darah, walau
sebenarnya Soeharto dan tentaranya sudah memulainya di luar sana. Semua pun
terharu, bahkan ada seorang pelayan yang dengan berani melarang Bung Karno
pergi sebelum makan. Karena tidak ada uang belanja, para pelayan pun berencana
patungan untuk menyiapkan hidangan. Hal itu ditolak Bung Karno. Ia memilih
makan sayur lodeh sisa tiga hari yang lalu untuk menjadi makanan terakhirnya.
Bayangkan, apakah ada presiden di dunia ini selain Bung Karno, yang begitu
tegar, walau dinista sedemikian hebat? Bung Karno pun pindah ke Istana Batu
Tulis di Bogor. Di sana, kesehatan beliau semakin memburuk. Karena tidak
memiliki uang yang cukup (!), keluarga Bung Karno meminta bantuan pemerintah.
Pemerintah Soeharto pun menunjukkan kemurahan dan rasa hormatnya kepada Bung
Karno, yakni dengan mengirim seorang dokter hewan. Andaikan saat itu rakyat
Marhaen mengetahui hal ini, mungkin istana tempat tinggal Soeharto dan
keluarganya akan dibakar dan diratakan dengan tanah.
Bung Karno kemudian dipindahkan kembali
ke Jakarta, yakni ke Wisma Yaso. Menurut kesaksian Rahmawati (salah seorang
putri Bung Karno), wajah dan tubuh Bung Karno bengkak, karena tidak diizinkan
cuci darah. Dokter Mahar Murdjiono sering sedih dan bingung karena obat-obatan
sering tidak tersedia. Di kamar di mana Bung Karno dirawat, selain bau, kumal
dan sangat sederhana, hanya ada beberapa cangkir, termos tua dan tembok-tembok
lusuh, yang memisahkan Bung Karno dengan rakyatnya, rakyat Marhaen yang setia.
Muhammad Hatta, mantan Wakil
Presiden dan sahabat paling dekat Bung Karno bahkan sempat menulis surat protes
begitu mengetahui nasib sahabatnya, yang juga pemimpin besar bangsa Indonesia.
Tetapi entah karena berkepala batu atau memang itulah yang diinginkan, Soeharto
membisu sambil terus menyibukkan diri dalam operasi militer membasmi para
pendukung Soekarno yang tersisa.
Oe Hong Kian, dokter gigi yang merawat
Bung Karno sempat heran, bagaimana bisa seorang yang dizalimi begitu hebatnya
bisa tetap tampil sederhana dan ringan seakan tak ada ganjalan. Itulah hebatnya
Bung Karno, itulah lebihnya Bung Karno. Sedari muda, ia sudah ‘menikmati’ apa
itu penjara, baik ketika jaman Belanda ataupun Inggris.Ada lagi satu kisah yang
mencerminkan kebijaksanaan Bung Karno. Suatu saat ia kepingin buah duku, tetapi
tidak punya uang. Ajudannya, seorang gadis asal Bali, sempat khawatir. Tetapi
begitu menengok dompetnya, ia merasa cukup untuk membeli buah itu barang
sekilo. Mobil pun meluncur, lalu berhenti di depan seorang penjual duku. Tetapi
begitu tahu, bahwa sang pembeli adalah Bung Karno, sang penjual duku lari.
Tidak berapa lama kemudian muncul para penjual buah-buah lainnya sambil
memberikan buah-buahannya dan menjerit-jerit “itu Pak Karno, itu Pak Karno,
hidup Pak Karno!”. Itulah bukti bahwa masih begitu besar kecintaan rakyat pada
Bung Karno. Tapi karena Bung Karno takut mereka akan mendapat masalah dari
tentara-tentara kaki tangan Soeharto, mobil pun meluncur pergi dan Bung Karno
hanya mampu melambaikan tangannya sebagai salam terakhir.
21 Juni yang sendu.
Begitu besar penderitaan Bung Karno.
Bahkan keluarga Bung Karno harus melewati penjagaan berlapis agar bisa bertemu
sang ayah tercinta. Mengapa? Karena Bung Karno seorang TAHANAN. Itulah alasan
yang sampai saat ini diingat oleh Rahmawati. Bahkan ketika malaikat Tuhan
menjemput beliau untuk memasuki alam yang abadi, proses protokoler ribet itu
masih dilakukan. Puncaknya, pada 21 Juni 1970, Bung Karno meninggalkan
rakyatnya.
Sepenggal kata-kata Bung
"Jadikan
deritaku ini sebagai kesaksian, bahwa kekuasaan seorang presiden sekalipun ada
batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanyalah kekuasaan rakyat. Dan di atas
segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.” (Soekarno, 1967)
0 komentar:
Posting Komentar